Selasa, 17 Maret 2015

Catatan Separuh Perjalanan Menjadi Pencerah Nusantara


Pasti telah bisa kita sadari bahwa tidak ada yang kekal di dunia ini. Banyak orang yang Allah hadirkan dalam hidup kita, membuat kita mengambil banyak pembelajaran dan hikmah darinya. Setiap pertemuan pasti akan menemui perpisahan. Setiap perpisahan pasti menyisakan rasa kehilangan. Namun, apalah arti kehilangan, ketika kami sebenarnya menemukan banyak hal saat kehilangan.

Menjadi Pencerah Nusantara mengajarkan kami banyak hal. Selama separuh perjalanan pengabdian, begitu banyak pembelajaran yang dapat kami petik dari setiap periode kehidupan yang kami alami atau saksikan. Kami menyadari betul bahwa begitu banyak kekurangan dan kelemahan kami sebagai pribadi maupun tim.

Semenjak kedatangan, Allah menghadapkan kami pada banyak peristiwa yang menguji ketahanan, kekuatan dan kekompakan tim kami. Adakalanya kami merasa begitu banyak ujian datang bertubi-tubi. Namun, kami meyakini bahwa setiap ujian yang kita hadapi, pasti sudah Allah takar sesuai dengan kemampuan kami. Tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan. Tidak ada urusan yang tidak ada jalan keluarnya.

Tinggal di lokasi penempatan yang belum terjamah listrik dan sinyal mengajarkan kami banyak hal. Tentang kemandirian, tentang keberanian mengambil keputusan, dan masih banyak lagi.

Sebagai tim, hubungan kami tidak sekadar hubungan sebagai mitra kerja/profesi, tetapi juga hubungan kami sebagai saudara, sebagai keluarga. Teman-teman satu tim-lah yang menjadi keluarga terdekat selama kami berada di lokasi penempatan. Masing-masing kami benar-benar merasakan, bagaimana antara teman satu tim dengan yang lain saling menjaga, saling melengkapi satu sama lain. Jika mendapati kekurangan, sebisa mungkin yang lain melengkapi. Seperti halnya jari-jari tangan kita, mengapa ada celah di antaranya, supaya ada jemari lain yang bisa menggenggam untuk menguatkan.

Menjaga orang-orang yang kami sayangi dari segala hal yang bisa membahayakan dan merugikannya adalah sesuatu yang sudah pasti selalu kami lakukan. Bahkan di saat orang yang kami jaga tidak  menjaga atau bahkan menghasut kami dari belakang. Sebisa mungkin kami tetap menjaganya, meluruskan banyak pandangan negatif masyarakat tentangnya.

Namun sekali lagi, kami tidak bisa menuntut bahwa orang yang kami jaga akan menjaga kami pula. Bahkan, untuk menjaga dirinya sendiri pun ia tidak mampu. Dalam Islam kami diajarkan, untuk selalu saling menasehati dalam kebenaran. Demikian pula yang selalu kami lakukan. Akan tetapi, penerimaan orang yang kami nasehati tidak selalu bisa sesuai yang kami harapkan. Niat hati ingin menasehati, justru dianggap intervensi.

Jika sudah demikian, maka kami pun berlepas dengan segala hal yang dilakukan. Juga berlepas atas segala akibat yang ditimbukan karenanya. Hanya mampu mendo’akan supaya Allah menjaganya, membukakan pintu hatinya, dan menajamkan perasaannya.

Demikianlah... akan ada orang-orang yang kita sukai. Ada pula orang-orang yang kita benci. Hilir mudik dalam kehidupan kita. Namun, mengapa kita harus benci? Sedangkan kita bisa saja mengatur hati kita, bilang saja kita tidak membencinya. Toh itu hati kita sendiri. Kita berkuasa penuh mengaturnya. Kenapa kita tetap memutuskan membenci? Padahal kita bisa memilih untuk tidak membenci. Boleh jadi saat kita membenci seseorang, pada saat yang sama kita sedang membenci diri kita sendiri. Membenci diri kita yang tidak kuasa mencegah hal buruk yang dilakukan orang yang kita benci, membenci diri kita yang tidak mampu menasehatinya. Karena itulah, kami selalu berusaha menata hati kami. Membuang jauh kebencian dari dalam diri kami. Sebab, diri kami berhak atas kedamaian dan ketenteraman hati.

Menjadi  bagian dari Pencerah Nusantara, tentunya kamipun menjadi bagian dari masyarakat di lokasi dimana kami ditempatkan. Banyak dinamika dalam kehidupan sosial masyarakat yang kami saksikan dan rasakan. Setiap tindakan ataupun sikap kami, tentunya merefleksikan nama Pencerah Nusantara yang selalu menjadi label dimanapun kami berada. Untuk itu, sebisa mungkin kami berusaha menjaga, jangan sampai ada nila setitik yang bersumber dari kekhilafan/keinsafan  pribadi menjadi berimbas pada rusaknya susu sebelanga.

Semoga kami semua, kita semua, semakin pandai mengambil hikmah dan pelajaran dari setiap peristiwa yang kita lalui.

Inspired by Tere Liye dalam novel “Rindu”
  
~Pencerah Nusa Lindu Batch 3~~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar